finconnect.news

Wakaf Musytarak: Pengertian, Landasan Hukum & Praktiknya

Pernahkah Anda mendengar tentang wakaf musytarak? Salah satu jenis wakaf ini memang dalam praktiknya masih banyak yang belum memahami. Masyarakat lebih mengenal tentang wakaf Khairi karena memang sudah banyak dipraktikkan.

Tuntutan wakaf sendiri sebenarnya sudah ada sejak jaman dulu karena telah diajarkan oleh Nabi dan sahabatnya. Nah, kali ini kami akan memberikan penjelasan tentang wakaf musytarak dan bagaimana landasan hukum serta praktiknya.

Pengertian Wakaf Musytarak

assets.nst.com

Wakaf Musytarak diartikan sebagai kegiatan wakaf dimana sebagian hasil atau keuntungan dari pengelolaannya diberikan kepada keluarga pewakaf. Misalnya, dari 100% hasil pengelolaan wakaf, 50% diberikan kepada anak-anak pewakaf dan 50% lainnya bantuan untuk orang miskin.

Praktik wakaf tersebut sudah dilakukan sejak masa sahabat Rasulullah SAW. Pada saat itu Umar bin Khattab berwakaf tanan khaibar setelah sebelumnya beliau meminta petunjuk Nabi Muhammad SAW.

Dari hasil pengelolaan wakaf tersebut, sebagian diberikan untuk orang-orang fakir, budak, sabilillah, sanak kerabat dan tamu.

Landasan Hukum Wakaf Musytarak

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan hukum melakukan wakaf ini? Sedangkan sebagian besar dari kita mengetahui bahwa wakaf biasanya dimanfaatkan untuk umat atau penerimanya secara penuh.

Seperti dalam hadis Rasulullah tentang wakaf berikut ini:

Dari Ibnu Umar r.a berkata bahwa Umar r.a memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Ia lalu menghadap Rasulullah SAW untuk memohon petunjuk apa yang seharusnya dilakukan terhadap tanah tersebut.

Umar r.a berkata kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, saya memperoleh sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu, saya memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu.

Kemudian Rasulullah bersabda: jika kamu mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian umar menyedekahkan (Mewakafkan) tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak di jual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.

Ia menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang fakir, sanak kerabat, budak, sabilillah, ibnu sabik dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu dalam batas – batas kewajaran atau memebri makan (kepada orang lain) tanpa menjadikan sebagai harta milik” (HR. Muslim).

Maksud dari hadis tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa penerima manfaat terbagi menjadi dua, yakni untuk kerabat (umum) dan untuk sanak kerabat.

Hadis tersebut juga menjadi landasan praktik wakaf musytarak syariah dan sebagai pendorong agar umat muslim berwakaf untuk kepentingan bersama. Akan tetapi dalam Peraturan Pemerintah (PP) di Indonesia mengenai wakaf, tidak  menyebutkan tentang wakaf musytarak, hanya wakaf khairi dan wakaf ahli saja.

Kendati tidak disebutkan dalam peraturan hukum tertulis, tapi tetap diperbolehkan dengan mengacu pada fikih kepada fikih wakaf.

Praktik Wakaf Musytarak

Penerapan jenis wakaf ini tidak hanya pada jaman Nabi saja. Pada masa lalu, Sunan Kalijaga pun juga pernah berwakaf secara musytarak. Beliau memwakafkan sawah-sawah untuk kepentingan keturunannya serta sebagian untuk pembiayaan Masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu Demak, Jawa Tengah.

Di Singapura juga pernah menerapkan wakaf ini, umat Islam memwakafkan hartanya untuk kepentingan keluarga serta orang-orang yang membutuhkan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa praktik wakaf musytarak diperbolehkan. Wakaf ini ini akan memberikan manfaat tidak hanya untuk penerimanya saja, tapi juga keluarga atau keturunan pewakaf.

Bagikan:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
WhatsApp
Scroll to Top